Analisis puisi menggunakan pendekatan feminisme
Sisi Feminim pada Puisi berjudul Cinta dan Kangen karya Helvy Tiana Rosa: Sebuah Kajian Feminisme
oleh Rezza Budhi Prasetyo
oleh Rezza Budhi Prasetyo
Abstrak
Artikel ini berjudul “Analisis puisi
menggunakan pendekatan feminisme”. Rumusan masalah dalam artikel ini adalah
bagaimana sisi feminisme dalam sebuah karya sastra. Karya sastra yang akan
dianalisis dalam hal ini adalah puisi. Puisi didalamnya banyak mengandung
perasaan dan emosi penulis. Hasil analisis mendeskripsikan bahwa hasil dalam
anailisis menunjukan nilai-nilai feminisme terkandung yang terdapat dalam sebuah puisi.
Puisi yang akan dikaji dalam artikel ini
adalah puisi berjudul “Kangen” dan “Cinta” karya Helvy Tiana Rosa. Dengan
analisis dengan menggunakan pendekatan feminism ini, diharapkan dapat
mengungkap sisi-sisi feminim dalam puisi tersebut.
Kata kunci: Feminisme, Puisi, Helvy Tiana Rosa, Cinta, Kangen
1.
Pendahuluan
Puisi memiliki banyak fungsi, salah satunya
adalah berfungsi sebagai penggerak perasaan penulisnya. Banyak orang bisa
tergerak perasaannya ketika membaca puisi, sebut saja puisi-puisi Helvy Tiana
Rosa. Kebanyakan puisinya berisi tentang bagaimana cara wanita menjatuhkan
cintanya, atau bagaimana wanita ingin melupakan seseorang, atau juga tentang
bagaimana cara seorang wanita rindu.
Untuk memahami isi dari puisi, bisa digunakan
berbagai pendekatan, salah satunya adalah feminisme. Feminisme ini merupakan adalah kritik sastra yang memusatkan perhatianpada citra serta
stereotip perempuan dalam karya sastra, meneliti kesalahpahaman tentang
perempuan,dan meneliti sebab-sebab perempuan sering tidak diperhitungkan,
bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra. Dalam artikel ini, penulis mencoba
untuk mengkaji puisi Helvy yang berjudul “Cinta” dan “Kangen” dengan menggunakan
pendekatan feminism.
2. Landasan Teori
A. Puisi
Pengertian puisi
Puisi ialah perasaan penyair
yang diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat, serta mengandung irama dan
kata kiasan. (Menurut Sri Suhita dalam
buku materi ajar Kajian Puisi tahun 2010).
Hakikat Puisi
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk mengerti hakikat puisi. Pertama adalah sifat seni
atau fungsi seni, kedua yaitu kepadatan, dan ketiga adalah ekpresi tidak
langsung.
I.
Fungsi
Estetik
Puisi adalah karya seni sastra. Puisi merupakan salah satu bentuk
karya sastra. Menurut Rene Wellek, dan Warren dalam Pradopo (2009: 315)
mengemukakan bahwa paling baik kita memandang kesusastraan sebagai karya yang
di dalamnya fungsi estetiknya dominan, yaitu fungsi seninya yang berkuasa. Tanpa
fungsi seni itu karya kebahasaan tidak dapat disebut karya (seni) sastra. Puisi
sebagai karya sastra, maka fungsi estetiknya dominan dan di dalamnya ada
unsur-unsur estetiknya. Unsur-unsur keindahan ini merupakan unsur-unsur
kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama, dan gaya
bahasanya. Gaya bahasa meliputi semua penggunaan bahasa secara khusus untuk
mendapatkan efek tertentu, yaitu efek estetikanya atau aspek kepuitisannya
(Pradopo, 1994: 47). Jenis-jenis gaya bahasa itu meliputi semua aspek bahasa,
yaitu bunyi, kata, kalimat, dan wacana yang dipergunakan secara khusus, untuk
mendapatkan efek tertentu itu. Semua itu merupakan aspek estetika atau aspek
keindahan puisi.
II. Kepadatan
Pada penciptaan sajak itu merupakan aktivitas pemadatan. Dalam
puisi tidak semua itu diceritakan. Yang dikemukakan dalam puisi hanyalah inti
masalah, peristiwa, atau inti cerita. Yang dikemukakan dalam puisi adalah
esensi sesuatu. Jadi, puisi itu merupakan ekspresi esensi. Karena puisi itu
mampat dan padat, maka penyair memilih kata dengan akurat (Altenbernd dalam
Pradopo, 2009: 316).
III. Ekspresi yang Tidak Langsung
Puisi itu sepanjang zaman selalu berubah. Riffaterre dalam Pradopo
(2009: 316) mengemukakan bahwa sepanjang waktu, dari waktu ke waktu, puisi itu
selalu berubah. Perubahan itu disebabkan oleh evolusi selera dan perubahan
konsep estetik. Namun, satu hal yang tidak berubah, yaitu puisi itu mengucapkan
sesuatu tidak secara langsung. Ketidaklangsungan ekspresi ini disebabkan oleh
tiga hal, yaitu penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti.
B. Feminisme
Feminisme
berasal dari kata feminist yang berarti pejuang hak-hak kaum
wanita, kemudian meluas menjadi feminism, yaitu suatu faham atau
“isme” yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI, 2008: 410) feminisme disebut sebagai gerakan wanita yang menuntut
persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.Definisi secara leksikal
ini telah membawa pemahaman yang keliru di kalangan masyarakat. Fakih(2008)
mengungkapkan, secara umum orang akan salah sangka atas feminisme yang dianggap
hanya sebagai gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki.
Padahal
seharusnya feminisme bukanlah upaya pemberontakan kaum perempuan terhadap kaum
laki-laki, bukan pula merupakan upaya pemberontakan terhadap pranata sosial dan
budaya seperti dalam perkawinan, dalam politk maupun dalam bidang pekerjaan.
Inti dari feminisme adalah ketidakinginan wanita untuk dinomorduakan atau
dijadikan sebagai kaum terpinggirkan.
Sasaran penting dalam analisis feminis
menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) adalah sedapat mungkin berhubungan
dengan: (1) mengungkap karyakarya penulis wanita masa lalu dan masa kini; (2)
mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis
oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria,
bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) mengkaji
aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan (5) mengungkap
aspek psikoanalisa feminis, mengapa wanita lebih suka hal yang halus,
emosional, penuh kasih dan lain sebagainya.
Lalu munculah istilah membaca sebagai
perempuan seperti yang telah dicetuskan oleh Culler, maksudnya adalah membaca
dengan kesadaran membungkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang
patriarkhat (Sugihastuti dan Suharto, 2605: 19).
Analisis novel dengan kritik sastra feminis
berhubungan dengan konsep membaca sebagai perempuan, karena selama ini
seolah-olah karya sastra ditujukan kepada pembaca laki-laki, dengan kritik ini
muncullah pembaharuan adanya pengakuan akan adanya pembaca perempuan. Hal ini
dapat dikatakan untuk mengurangi prasangka gender dalam sastra.
Kritik sastra feminis menurut Yoder (dalarn
Sugihastuti dan Suharto, 2002: 5) diibaratkan quilt yang
dijahit dan dibentuk dari potongan kain persegi pada bagian bawah dilapisi
dengan kain lembut. Metafora ini mengibaratkan bahwa kritik sastra feminis
diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang
perempuan dapat sadar membaca karya sastra sebagai perempuan.
Menurut
Ratna (2005: 226) gerakan feminis secara khusus
menyediakan konsep dan teori dalam kaitannya dengan analisis kaum perempuan.
Sedangkan Ritzer dalam Ratna (2005: 231) feminis termasuk teori sosial kritis,
teori yang melibatkan diri dalam persoalan pokok dalam konteks sosial, politik,
ekonomi, dan sejarah, yang sedang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang berada
dalam kondisi tertindas. Dalam pandangan studi kultural, ada lima politik
budaya feminis, yaitu a) feminis liberal, memberikan intensitas pada persamaan
hak, baik dalam pekerjaan maupun pendidikan, b) feminis radikal, berpusat pada
akar permasalahan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas, yaitu seks dan
gender, c) feminis sosialis dan Marxis, yang pertama memberikan intensitas pada
gender, sedangkan yang kedua pada kelas, d) feminis postmodernis, gender dan
ras tidak memiliki makna yang tetap, sehingga seolah-olah secara alamiah tidak
ada laki-laki dan perempuan, dan e) feminis kulit hitam dan non Barat dengan
intensitas pada ras dan kolonialisme (Ratna, 2005:228).
Dalam
dunia sastra, feminisme dapat digunakan sebagai pendekatan dalam kritik sastra.
Seperti yang diungkapkan oleh Kolodny dalam Djajanegara (2000: 19) menyatakan
bahwa kritik sastra feminis membeberkan perempuan menurut stereotip seksul,
baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra, dan juga menunjukkan bahwa
aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah (digunakan untuk)
mengkaji tulisan perempuan secara tidak adil, tidak peka.
Sugihastuti
(2002: 140) mengungkapkan bahwa kritik sastra feminis adalah sebuah kritik
sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin
yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia.
3. Analisis dan Pembahasan
Puisi Pertama “Cinta”
Cinta
Aku mencintaimu sejak waktu, sejak bumi, sejak sukma,
sejak bayi
Aku mencintaimu sampai
laut, sampai langit, sampai darah, sampai mati
Setiap hari kucatat dan kupotret kau dalam batin
Kau menempel di buku-buku, di televisi, di gedung-gedung
dan panggung pertunjukan,
juga pada angin dan debu pada napasku
Aku berjalan tersaruk mengendusi semua jejak yang kau
tinggalkan
seperti pemburu yang saru
Panggil aku cinta
Bukan, aku bukan wanita khayalanmu
Aku yang mendambamu hingga ke paling lembah
Apakah kau percaya pada ada dan tiada?
Sebab aku mungkin ada, sebab aku mungkin hanya tiada
Sepotong diam yang tak henti mencinta
hingga penghujung senja
Kemayoran, 1988
A. Tema
Tema puisi ini adalah cinta, hal
ini bisa kita lihat dari banyaknya penggunaan kata cinta dalam puisi ini.
seperti pada larik “Aku mencintaimu sejak
waktu, sejak bumi, sejak sukma, sejak bayi” atau “sepotong diam yang hanya tak henti mencinta”.
B. Diksi
Diksi
yang digunakan penyair dalam puisi ini sangat indah dan tidak biasa, seperti
pada larik “aku yang mendambamu hingga ke
paling lembah” yang maksudnya adalah si penyair sangat mendambakan atau
menginginkan orang yang dimaksudnya (orang yang dicintainya dalam puisi
tersebut) dan pada larik “Hanya sepotong
diam yang hanya tak henti mencinta” yang maksudnya adalah sang penyair
hanya bisa memendam perasaannya.
C. Gaya
Bahasa
Gaya bahasa yang dominan dalam puisi ini adalah hiperbola,
bisa dilihat dari larik pertama dan kedua “Aku
mencintaimu sejak waktu, sejak bumi, sejak sukma, sejak bayi” dan “Aku mencintaimu sampai laut, sampai langit,
sampai darah, sampai mati” sangat berlebihan .
D. Rima
dan Irama
Dalam
puisi ini, penyair tidak menggunakan rima seperti a-a-a-a atau a-b-a-b, puisi
ini tidak terikat rima. Namun di beberapa tempat puisi ini memiliki irama
seperti pada larik pertama dan kedua puisi ini.
Feminisme
Setelah membahas sedikit struktur dari puisi ini,
selanjutnya kita akan melihat puisi ini dari segi feminismenya.
Wanita ingin
dicintai apa adanya
Dalam
puisi tersebut, jelas bahwa perempuan ingin dicintai dengan apa adanya mereka,
hal ini tergambar pada larik “Panggil aku cinta/ bukan, aku bukan wanita
khayalanmu/. Kata panggil aku cinta adalah bukti bahwa perempuan ingin
dicintai, dan kata /aku bukan wanita khayalanmu./ adalah bukti bahwa wanita
ingin dicintai apa adanya, bukan seperti gambaran wanita yang ada dibenak banyak
lelaki yang cantik bak model, putih seperti salju, anggun seperti putri, dll.
Wanita adalah sosok pecinta dalam diam
Dan
sosok wanita dalam puisi cinta tersebut digambarkan menjadi sosok yang sangat
mencintai, namun karena sulit atau berinteraksi dengan orang yang dicintainya,
keberadaannya jadi seperti ada atau tiada di mata orang yang dicintainya. Hal
itu dikarenakan kebanyakan wanita mencintai pria hanya dalam diam atau tak
berani mengungkapkan hal ini dijelaskan pada larik.” Sebab aku mungkin ada/
sebab aku mungkin hanya tiada/ sepotong diam yang hanya tak henti mencinta/.”
Di
Indonesia, rasanya tabu atau gengsi jika wanita yang menyatakan cinta terlebih
dahulu. Kebanyakan wanita di Indonesia beranggapan bahwa menunggu memang sudah
kodratnya wanita dan menyatakan cinta memang sudah kodratnya lelaki. Tradisi
seperti itu yang membuat kebanyakan wanita lebih memilih untuk diam saat
mencinta.
Meski begitu, wanita selalu teringat oleh orang yang
dia cintai dimanapun dan kapanpun, hal ini tergambar pada larik “Setiap
hari kucatat dan kupotret kau dalam batin/ Kau menempel di buku-buku, di
televisi, di gedung dan panggung pertunjukan/ Juga pada angin dan debu pada
nafasku.”
Puisi Kedua “Kangen”
Puisi kedua adalah puisi tentang
kerinduan, dari judulnya sudah terlihat yaitu kangen.
KANGEN
Telah kutuliskan puisi-puisi itu
sejak usiamu 26 tahun
ketika pertama kali kita bertukar senyum
pada jarak pandang yang begitu dekat
sejak usiamu 26 tahun
ketika pertama kali kita bertukar senyum
pada jarak pandang yang begitu dekat
Kau ingat,
saat kubisikkan mungkin aku tak perlu matahari,
bulan atau bintang lagi
cukup kau, cahaya yang Dia kirimkan untukku
saat kubisikkan mungkin aku tak perlu matahari,
bulan atau bintang lagi
cukup kau, cahaya yang Dia kirimkan untukku
Ah, apa kau masih menyimpan puisi-puisi itu?
Belasan tahun kemudian
aku masih menikmati
mengirimimu puisi
hingga hari ini
aku pun menjelma hujan yang enggan berhenti
di berandamu
bersama angin yang selalu kasmaran
aku masih menikmati
mengirimimu puisi
hingga hari ini
aku pun menjelma hujan yang enggan berhenti
di berandamu
bersama angin yang selalu kasmaran
Kau tahu, aku masih saja menatapmu
dengan mataku yang dulu
lelaki sederhana berhati samudera
yang selalu membawaku berlabuh padaNya
dengan mataku yang dulu
lelaki sederhana berhati samudera
yang selalu membawaku berlabuh padaNya
Pada berkali masa, kau pernah berkata,
“Aku tahu, Aku hanya ingin menikahi jiwamu selalu”
“Aku tahu, Aku hanya ingin menikahi jiwamu selalu”
Helvy Tiana Rosa, Depok, 2008
A. TEMA
Tema puisi
ini adalah kerinduan, walau tidak ditulis secara tersurat tapi hal ini
tergambar dengan jelas secara tersirat. Dan juga kita bisa melihat dari judul
puisi ini yaitu “Kangen”. Dan juga biasanya orang yang rindu akan mengingat
kenangan-kenangan yang terjadi antara
orang yang merindukan dan orang yang dirindukan. Dalam puisi ini, penyair
mengingat-ingat kembali kenangan yang pernah dia lakukan kepada orang yang
dirindukannya. Hal ini tertulis pada larik “Kau ingat/Saat kubisikkan mungkin
aku tak perlu matahari/ Bulan atau bintang lagi/ Cukup kau, cahaya yang Dia
kirimkan untukku.”
B.
Diksi
Diksi
yang digunakan pada puisi ini sederhana namun indah. Tapi ada bagian yang
dimana diksinya tidak seperti biasa yaitu pada larik “lelaki sederhana berhati samudera/ yang selalu membawaku berlabuh
padaNya.” Disitu jelas menggunakan diksi yang tidak biasa dan itu indah.
C.
Gaya Bahasa
Dalam
puisi ini ada majas perbandingan yaitu simile. Hal itu terlihat dalam larik “aku menjelma hujan” dan ada juga hiperbola yaitu “lelaki sederhana berhati samudera”
padahal yang dimaksud adalah berhati luas atau lapang atau juga bisa diartikan
sabar.
D.
Rima dan Irama
Puisi ini tidak terlalu terikat dengan rima, namun ada bait
dalam puisi tersebut yang menggunakan rima a-a-b-b yaitu pada bait “Kau tahu, aku masih saja menatapmu/ Dengan
mataku yang dulu/ Lelaki sederhana berhati samudera/ Yang selalu membawaku
berlabuh padaNya.”
Feminisme
Feminisme
dalam puisi ini bisa kita lihat dari beberapa aspek yaitu:
Wanita
membutuhkan lelaki dalam hidupnya sebagai
pemimpin
Ya,
wanita membutuhkan lelaki sebagai
pemimpin. Hal ini bisa dilihat dari bait
“Kau
ingat/Saat kubisikkan mungkin aku tak perlu matahari/ Bulan atau bintang lagi/
Cukup kau, cahaya yang Dia kirimkan untukku.”
Dalam
bait itu, penulis menjelaskan kalau wanita tak perlu lagi apapun di dunia ini
kecuali orang yang dituju (dalam puisi itu).
Dan kata “Cahaya” bisa bermakna konotatif sebagai penerang
atau pemandu .
Inilah
mengapa dalam mengarungi bahtera rumah tangga, lelaki bertugas sebagai
pengambil keputusan dan sebagai imam, sedangkan wanita sebagai pendamping.
Kesimpulan
Dengan
menggunakan pendekatan feminisme untuk mengkaji puisi Helvy Tiana Rosa yaitu
“Cinta” dan “kangen, kita bisa tahu beberapa aspek mengenai wanita yang
disiratkan helvy dalam karyanya.
Dalam puisi Cinta, helvy
menunjukan bagaimana wanita saat jatuh cinta dimana dia memberitahu kita kalau
wanita itu ingin dicintai apa adanya dan
biasanya wanita selalu mencintai pria secara diam-diam.
Dan dalam puisi kangen, helvy
menunjukan kalau wanita membutuhkan sosok pemimpin dalam hidupnya yaitu
laki-laki.
Daftar Pustaka
Suhita,S.(2010).Kajian Puisi.Jakarta
Rosa,H.T. (2012). Mata Ketiga Cinta. Jakarta: Asmanadia Publishing House
Esten, Mursal. 1995. Memahami Puisi. Bandung:
Angkasa.
https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/kritik-sastra-feminisme/
http://ragambahasakita.blogspot.com/2015/01/about_29.html