Selasa, 02 Januari 2018

Politik yang memperdagangkan Manusia: Sebuah review novel Jatisaba karya Ramadya Akmal





Deskripsi Novel
Nama                     :  Jatisaba (JS)
Pengarang             :  Ramadya Akmal
Penerbit                 : Grasindo
Cetakan                 : Maret 2017
Jumlah Hal.           : iii + 242 halaman
ISBN                     : 978-602-375-871-5



Mae kembali ke Jatisaba dengan membawa mimpi-mimpi. Ia menyebarkan angan tentang pekerjaan bagus, gaji besar, dan kehidupan layak diluar negeri. Mae menebar Utopia, berharap orang-orang terjebak masuk dalam praktik perdagangan manusia.
Mae tidak punya pilihan. Mayor Tua, bosnya, menawan kebebasannya. Namun, pertemuannya dengan Gao –cinta pertama mae– sedikit mempengaruhi diri Mae. Bersama Gao ia bergumul dalam romantika masa lalu dan kelamnya masa depan.
Namun, hidup tidak memberikan waktu. Mae harus segera mengambil keputusan; menuruti perintah Mayor Tua atau menghilang bersama laki-laki yang begitu dicintainya. (Cover belakang)

Saya mengetahui buku ini saat mendapat mata kuliah leksikografi, dimana tugasnya adalah membuat kamus penokohan terhadap novel-novel pemenang sayembara DKJ. Novel jatisaba ini menjadi pemenang unggulan dalam sayembara Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010.
Pada bab 1 novel, kita disuguhkan sebuah flashfoward yang nantinya akan ada pada bab selanjutnya. Tentu saja hal ini membuat para pembacanya menjadi penasaran, mengapa tokoh utama Mae berlari-lari di pagi buta dengan banyak kerusuhan di sekelilingnya.
Karena saya menjadikan novel Jatisaba ini sebagai objek kamus penokohan saya, kurang lebihnya saya jadi lebih mengerti tentang masing-masing tokoh dalam novel ini.  Novel ini bercerita tentang Mae yang merupakan seorang pedagang manusia yang datang ke kampung halamannya yaitu Jatisaba untuk mencari mangsa. Saya sendiri tidak mengerti apa alasan Mae mau mengorbankan orang-orang terbaiknya untuk dijadikan korban. Apakah itu memang kemauannya sendiri atau memang atas dasar suruhan bos nya yaitu Mayor Tua.
Jika memang hal itu kemauan Mae, berarti dia adalah orang yang sangat kejam sedangkan dalam novel Jatisaba menggambarkan Mae sebagai orang yang sangat mencintai desanya tersebut. Dia pun merupakan pribadi yang baik.  Dibalik semua itu, Mae adalah seorang tersangka sekaligus korban dalam praktik perdagangan manusia.  bagaimana tidak, setelah berhasil lolos dari praktik pelacuran Tuan Kim, dia di tolong oleh Mayor Tua untuk dimanfaatkan sebagai pencari korban perdagangan manusia.
Setelah datang dari jauh, Mae menumpang pada seorang kerabatnya yang bernama Sitas. Entah kenapa saya sendiri melihat Sitas sebagai sosok prototype manusia saat ini yang rela melakukan apapun demi uang. Disitulah saya mulai merasakan perlunya memaafkan naluriah manusia yang mencintai uang.
Tidak mudah bagi mae untuk memperdaya warga Jatisaba,dan beruntungnya Mae sudah berpengalaman. Sehingga ia mampu memperoleh kepercayaan warganya dengan mengatakan kalau ia merupakan seorang penyalur Tenaga Kerja Wanita yang akan diiming-imingi gaji tinggi, kehidupan mapan, keluar dari jerat kemiskininan. Tentu saja dia juga mengatakan kalau perusahaannya ini legal dan terpercaya. Tentu saja kedatang Mae yang membuka peluang kerja ini seperti pelita dalam kegelapan; memberi harapan.
Sialnya kedatangan Mae itu bertepatan dengan akan dilangsungkannya Pilkades di desa tersebut. Tiga kandidat kepala desa yang akan maju adalah Mardi Kartomiharjo yang ambius, Jompro yang seorang “preman”, dan Joko yang pintar.
Jompro sebarnya tidak setuju karena Mae mau menerbangkan warga desa keluar negeri, karena itu akan mengurangi suara untuknya. maka dari itu ia menawarkan Mae sebuah kerjasama dimana Jompro akan membantu mengurus surat-surat administrasi para warga yang ikut dengan Mae, sedangkan Mae membantuk Jompro dengan menghasut yang ikut dengannya untuk memilih Jomrpo.
Saat-saat kampanye, kita akan disuguhkan dengan berbagai hal yang menurut saya sudah biasa terjadi di dunia politik. Seperti money politik terjadi dengan rapih. Karena Jatisaba merupakan desa, masih terdapat beberapa ilmu-ilmu klenik. Seperti suami Sitas yaitu Pontu yang menurut Sitas sakti karena bisa menjernihkan air sumur, mengusir kuntilanak bisa menghilang dan sebagainya.
Saat-saat kampanye juga membuat kita mengerti beberapa hiburan masyarakat dan ritual tradisional. Seperti ada pertunjukan Ebeg atau kuda lumping yang sangat populer di Jawa Tengah. Ada juga upacara Nini Cowong yang konon mendatangkan berkah. Semua hal itu dipertunjukan guna memperoleh suara sebanyak banyaknya. Dan yang paling banyak disorot saat kampanye adalah Jomrpo dan Mardi sedangkan Joko jarang bahkan tidak ditampilkan saat-saat kampanye.
Adu muslihat terjadi antara Jompro dan Mardi. Namun mereka bukan debat program kerja atau debat kepintaran melainkan bersaing untuk mendapat perhatian masyarakat. Mardi mencari perhatian masyarakat dengan ritual Nini dan membagi-bagikan beras karena Mardi merupakan juragan beras. Sedangkan Jompro dengan Ebeg-nya.
Saya melihat Jatisaba ini sebagai sebuah tempat yang merupakan gambaran saat ini. dimana kemiskinan  menjadi topik utama yang menyebabkan ketertinggalannya suatu daerah. Bagaimana tidak rumah Gao yang merupakan dukun Ebeg saja masih menggunakan lampu petromaks. Jatisaba sebagai daerah yang termajinalkan oleh kota yang hingar bingar. Namun, dari Jatisaba kita melihat manusia seutuhnya. Manusia yang mengharap keluar dari kemiskinan.
Seperti halnya Sitas, ia pernah mengharap keluar dari kemiskinan melalui kerja sebagai TKW. Namun, bukan rezeki yang ia dapat, ia  malah ditahan di penampungan dan jadi bulan-bulanan nafsu para buruh yang ikut tidur bersamanya dalam satu barak.  Ya, itulah realitas yang kadang terjadi dalam dunia penyaluran TKW.
Perdagangan manusia dan politik ini melebur namun secara cermat Ramadya bisa memberikan porsi-porsinya dengan baik. Selain dua konflik besar tersebut, unsur percintaan yang sedikit vulgar juga menjadikan novel ini menarik, lugas dan tidak menutup-nutupi. Dan yang saya suka dari novel ini adalah tidak bertele-tele mendeskripsikan setting namun sebagai pembaca kita bisa mengimajinasikannya. Sebagaimana rumah Sitas yang bau bebek, saya jadi mengimajinasikan sebuah rumah sederhana dengan kandang bebek di sampingnya.
Selain itu, kita juga tak sulit menemukan tokoh dalam novel ini dalam kehidupan kita. Karena novel ini berangkat dari suasana pedesaan yang sangat realistis, penokohannyapun sangat real dan tidak mendramatisir.

Plot-plot twist juga menambah daya tarik novel ini. dan akan banyak sekali kejutan-kejutan yang tidak diduga saat membaca novel ini. membaca novel ini seperti membaca politik yang memperdagangkan manusia.

ShareThis