Nama : Jatisaba (JS)
Pengarang :
Ramadya Akmal
Penerbit : Grasindo
Cetakan : Maret 2017
Jumlah
Hal. : iii + 242 halaman
ISBN : 978-602-375-871-5
Mae kembali ke Jatisaba dengan membawa mimpi-mimpi. Ia menyebarkan
angan tentang pekerjaan bagus, gaji besar, dan kehidupan layak diluar negeri.
Mae menebar Utopia, berharap orang-orang terjebak masuk dalam praktik perdagangan
manusia.
Mae tidak punya pilihan. Mayor Tua, bosnya, menawan kebebasannya.
Namun, pertemuannya dengan Gao –cinta pertama mae– sedikit mempengaruhi diri
Mae. Bersama Gao ia bergumul dalam romantika masa lalu dan kelamnya masa depan.
Namun, hidup tidak memberikan waktu. Mae harus segera mengambil
keputusan; menuruti perintah Mayor Tua atau menghilang bersama laki-laki yang
begitu dicintainya. (Cover belakang)
Saya
mengetahui buku ini saat mendapat mata kuliah leksikografi, dimana tugasnya
adalah membuat kamus penokohan terhadap novel-novel pemenang sayembara DKJ.
Novel jatisaba ini menjadi pemenang unggulan dalam sayembara Dewan Kesenian
Jakarta tahun 2010.
Pada bab 1 novel, kita disuguhkan sebuah flashfoward yang nantinya akan ada pada
bab selanjutnya. Tentu saja hal ini membuat para pembacanya menjadi penasaran,
mengapa tokoh utama Mae berlari-lari di pagi buta dengan banyak kerusuhan di
sekelilingnya.
Karena saya menjadikan novel Jatisaba ini sebagai
objek kamus penokohan saya, kurang lebihnya saya jadi lebih mengerti tentang
masing-masing tokoh dalam novel ini.
Novel ini bercerita tentang Mae yang merupakan seorang pedagang manusia
yang datang ke kampung halamannya yaitu Jatisaba untuk mencari mangsa. Saya sendiri
tidak mengerti apa alasan Mae mau mengorbankan orang-orang terbaiknya untuk
dijadikan korban. Apakah itu memang kemauannya sendiri atau memang atas dasar
suruhan bos nya yaitu Mayor Tua.
Jika memang hal itu kemauan Mae, berarti dia adalah
orang yang sangat kejam sedangkan dalam novel Jatisaba menggambarkan Mae
sebagai orang yang sangat mencintai desanya tersebut. Dia pun merupakan pribadi
yang baik. Dibalik semua itu, Mae adalah
seorang tersangka sekaligus korban dalam praktik perdagangan manusia. bagaimana tidak, setelah berhasil lolos dari
praktik pelacuran Tuan Kim, dia di tolong oleh Mayor Tua untuk dimanfaatkan
sebagai pencari korban perdagangan manusia.
Setelah datang dari jauh, Mae menumpang pada seorang
kerabatnya yang bernama Sitas. Entah kenapa saya sendiri melihat Sitas sebagai
sosok prototype manusia saat ini yang rela melakukan apapun demi uang.
Disitulah saya mulai merasakan perlunya memaafkan naluriah manusia yang
mencintai uang.
Tidak mudah bagi mae untuk memperdaya warga
Jatisaba,dan beruntungnya Mae sudah berpengalaman. Sehingga ia mampu memperoleh
kepercayaan warganya dengan mengatakan kalau ia merupakan seorang penyalur
Tenaga Kerja Wanita yang akan diiming-imingi gaji tinggi, kehidupan mapan,
keluar dari jerat kemiskininan. Tentu saja dia juga mengatakan kalau
perusahaannya ini legal dan terpercaya. Tentu saja kedatang Mae yang membuka
peluang kerja ini seperti pelita dalam kegelapan; memberi harapan.
Sialnya kedatangan Mae itu bertepatan dengan akan
dilangsungkannya Pilkades di desa tersebut. Tiga kandidat kepala desa yang akan
maju adalah Mardi Kartomiharjo yang ambius, Jompro yang seorang “preman”, dan
Joko yang pintar.
Jompro sebarnya tidak setuju karena Mae mau menerbangkan
warga desa keluar negeri, karena itu akan mengurangi suara untuknya. maka dari
itu ia menawarkan Mae sebuah kerjasama dimana Jompro akan membantu mengurus
surat-surat administrasi para warga yang ikut dengan Mae, sedangkan Mae
membantuk Jompro dengan menghasut yang ikut dengannya untuk memilih Jomrpo.
Saat-saat kampanye, kita akan disuguhkan dengan
berbagai hal yang menurut saya sudah biasa terjadi di dunia politik. Seperti money politik terjadi dengan rapih.
Karena Jatisaba merupakan desa, masih terdapat beberapa ilmu-ilmu klenik.
Seperti suami Sitas yaitu Pontu yang menurut Sitas sakti karena bisa
menjernihkan air sumur, mengusir kuntilanak bisa menghilang dan sebagainya.
Saat-saat kampanye juga membuat kita mengerti beberapa
hiburan masyarakat dan ritual tradisional. Seperti ada pertunjukan Ebeg atau kuda lumping yang sangat
populer di Jawa Tengah. Ada juga upacara Nini
Cowong yang konon mendatangkan berkah. Semua hal itu dipertunjukan guna
memperoleh suara sebanyak banyaknya. Dan yang paling banyak disorot saat
kampanye adalah Jomrpo dan Mardi sedangkan Joko jarang bahkan tidak ditampilkan
saat-saat kampanye.
Adu muslihat terjadi antara Jompro dan Mardi. Namun
mereka bukan debat program kerja atau debat kepintaran melainkan bersaing untuk
mendapat perhatian masyarakat. Mardi mencari perhatian masyarakat dengan ritual
Nini dan membagi-bagikan beras karena
Mardi merupakan juragan beras. Sedangkan Jompro dengan Ebeg-nya.
Saya melihat Jatisaba ini sebagai sebuah tempat yang
merupakan gambaran saat ini. dimana kemiskinan
menjadi topik utama yang menyebabkan ketertinggalannya suatu daerah.
Bagaimana tidak rumah Gao yang merupakan dukun Ebeg saja masih menggunakan lampu petromaks. Jatisaba sebagai
daerah yang termajinalkan oleh kota yang hingar bingar. Namun, dari Jatisaba
kita melihat manusia seutuhnya. Manusia yang mengharap keluar dari kemiskinan.
Seperti halnya Sitas, ia pernah mengharap keluar dari
kemiskinan melalui kerja sebagai TKW. Namun, bukan rezeki yang ia dapat,
ia malah ditahan di penampungan dan jadi
bulan-bulanan nafsu para buruh yang ikut tidur bersamanya dalam satu
barak. Ya, itulah realitas yang kadang
terjadi dalam dunia penyaluran TKW.
Perdagangan manusia dan politik ini melebur namun
secara cermat Ramadya bisa memberikan porsi-porsinya dengan baik. Selain dua
konflik besar tersebut, unsur percintaan yang sedikit vulgar juga menjadikan
novel ini menarik, lugas dan tidak menutup-nutupi. Dan yang saya suka dari novel
ini adalah tidak bertele-tele mendeskripsikan setting namun sebagai pembaca
kita bisa mengimajinasikannya. Sebagaimana rumah Sitas yang bau bebek, saya
jadi mengimajinasikan sebuah rumah sederhana dengan kandang bebek di
sampingnya.
Selain itu, kita juga tak sulit menemukan tokoh dalam
novel ini dalam kehidupan kita. Karena novel ini berangkat dari suasana
pedesaan yang sangat realistis, penokohannyapun sangat real dan tidak mendramatisir.
Plot-plot twist juga menambah daya tarik novel ini.
dan akan banyak sekali kejutan-kejutan yang tidak diduga saat membaca novel
ini. membaca novel ini seperti membaca politik yang memperdagangkan manusia.