Senin, 20 Juni 2016

Analisis puisi menggunakan pendekatan feminisme

Analisis puisi menggunakan pendekatan feminisme


Sisi Feminim pada Puisi berjudul Cinta dan Kangen karya Helvy Tiana Rosa: Sebuah Kajian Feminisme

oleh Rezza Budhi Prasetyo


Abstrak
Artikel ini berjudul “Analisis puisi menggunakan pendekatan feminisme”. Rumusan masalah dalam artikel ini adalah bagaimana sisi feminisme dalam sebuah karya sastra. Karya sastra yang akan dianalisis dalam hal ini adalah puisi. Puisi didalamnya banyak mengandung perasaan dan emosi penulis. Hasil analisis mendeskripsikan bahwa hasil dalam anailisis menunjukan nilai-nilai feminisme terkandung yang terdapat dalam sebuah puisi.
Puisi yang akan dikaji dalam artikel ini adalah puisi berjudul “Kangen” dan “Cinta” karya Helvy Tiana Rosa. Dengan analisis dengan menggunakan pendekatan feminism ini, diharapkan dapat mengungkap sisi-sisi feminim dalam puisi tersebut.
Kata kunci: Feminisme, Puisi, Helvy Tiana Rosa, Cinta, Kangen




1.      Pendahuluan
Puisi memiliki banyak fungsi, salah satunya adalah berfungsi sebagai penggerak perasaan penulisnya. Banyak orang bisa tergerak perasaannya ketika membaca puisi, sebut saja puisi-puisi Helvy Tiana Rosa. Kebanyakan puisinya berisi tentang bagaimana cara wanita menjatuhkan cintanya, atau bagaimana wanita ingin melupakan seseorang, atau juga tentang bagaimana cara seorang wanita rindu.
Untuk memahami isi dari puisi, bisa digunakan berbagai pendekatan, salah satunya adalah feminisme. Feminisme ini merupakan adalah kritik sastra yang memusatkan perhatianpada citra serta stereotip perempuan dalam karya sastra, meneliti kesalahpahaman tentang perempuan,dan meneliti sebab-sebab perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra. Dalam artikel ini, penulis mencoba untuk mengkaji puisi Helvy yang berjudul “Cinta” dan “Kangen” dengan menggunakan pendekatan feminism.
2.      Landasan Teori
A.    Puisi
Pengertian puisi
Puisi ialah perasaan penyair yang diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat, serta mengandung irama dan kata kiasan.  (Menurut Sri Suhita dalam buku materi ajar Kajian Puisi tahun 2010).
Hakikat Puisi
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk mengerti hakikat puisi. Pertama adalah sifat seni atau fungsi seni, kedua yaitu kepadatan, dan ketiga adalah ekpresi tidak langsung.

I.          Fungsi Estetik
Puisi adalah karya seni sastra. Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra. Menurut Rene Wellek, dan Warren dalam Pradopo (2009: 315) mengemukakan bahwa paling baik kita memandang kesusastraan sebagai karya yang di dalamnya fungsi estetiknya dominan, yaitu fungsi seninya yang berkuasa. Tanpa fungsi seni itu karya kebahasaan tidak dapat disebut karya (seni) sastra. Puisi sebagai karya sastra, maka fungsi estetiknya dominan dan di dalamnya ada unsur-unsur estetiknya. Unsur-unsur keindahan ini merupakan unsur-unsur kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama, dan gaya bahasanya. Gaya bahasa meliputi semua penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek estetikanya atau aspek kepuitisannya (Pradopo, 1994: 47). Jenis-jenis gaya bahasa itu meliputi semua aspek bahasa, yaitu bunyi, kata, kalimat, dan wacana yang dipergunakan secara khusus, untuk mendapatkan efek tertentu itu. Semua itu merupakan aspek estetika atau aspek keindahan puisi.

II.     Kepadatan
Pada penciptaan sajak itu merupakan aktivitas pemadatan. Dalam puisi tidak semua itu diceritakan. Yang dikemukakan dalam puisi hanyalah inti masalah, peristiwa, atau inti cerita. Yang dikemukakan dalam puisi adalah esensi sesuatu. Jadi, puisi itu merupakan ekspresi esensi. Karena puisi itu mampat dan padat, maka penyair memilih kata dengan akurat (Altenbernd dalam Pradopo, 2009: 316).

III.    Ekspresi yang Tidak Langsung
Puisi itu sepanjang zaman selalu berubah. Riffaterre dalam Pradopo (2009: 316) mengemukakan bahwa sepanjang waktu, dari waktu ke waktu, puisi itu selalu berubah. Perubahan itu disebabkan oleh evolusi selera dan perubahan konsep estetik. Namun, satu hal yang tidak berubah, yaitu puisi itu mengucapkan sesuatu tidak secara langsung. Ketidaklangsungan ekspresi ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti.


B.     Feminisme
Feminisme berasal dari kata  feminist yang berarti pejuang hak-hak kaum wanita, kemudian meluas menjadi feminism, yaitu suatu faham atau “isme” yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008: 410) feminisme disebut sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.Definisi secara leksikal ini telah membawa pemahaman yang keliru di kalangan masyarakat. Fakih(2008) mengungkapkan, secara umum orang akan salah sangka atas feminisme yang dianggap hanya sebagai gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki.
Padahal seharusnya feminisme bukanlah upaya pemberontakan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki, bukan pula merupakan upaya pemberontakan terhadap pranata sosial dan budaya seperti dalam perkawinan, dalam politk maupun dalam bidang pekerjaan. Inti dari feminisme adalah ketidakinginan wanita untuk dinomorduakan atau dijadikan sebagai kaum terpinggirkan.
Sasaran penting dalam analisis feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) adalah sedapat mungkin berhubungan dengan: (1) mengungkap karya­karya penulis wanita masa lalu dan masa kini; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) mengkaji aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan (5) mengungkap aspek psikoanalisa feminis, mengapa wanita lebih suka hal yang halus, emosional, penuh kasih dan lain sebagainya.

Lalu munculah istilah membaca sebagai perempuan seperti yang telah dicetuskan oleh Culler, maksudnya adalah membaca dengan kesadaran membungkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkhat (Sugihastuti dan Suharto, 2605: 19).

Analisis novel dengan kritik sastra feminis berhubungan dengan konsep membaca sebagai perempuan, karena selama ini seolah-olah karya sastra ditujukan kepada pembaca laki-laki, dengan kritik ini muncullah pembaharuan adanya pengakuan akan adanya pembaca perempuan. Hal ini dapat dikatakan untuk mengurangi prasangka gender dalam sastra.

Kritik sastra feminis menurut Yoder (dalarn Sugihastuti dan Suharto, 2002: 5) diibaratkan quilt yang dijahit dan dibentuk dari potongan kain persegi pada bagian bawah dilapisi dengan kain lembut. Metafora ini mengibaratkan bahwa kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat sadar membaca karya sastra sebagai perempuan.

Menurut Ratna (2005: 226) gerakan feminis secara khusus menyediakan konsep dan teori dalam kaitannya dengan analisis kaum perempuan. Sedangkan Ritzer dalam Ratna (2005: 231) feminis termasuk teori sosial kritis, teori yang melibatkan diri dalam persoalan pokok dalam konteks sosial, politik, ekonomi, dan sejarah, yang sedang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang berada dalam kondisi tertindas. Dalam pandangan studi kultural, ada lima politik budaya feminis, yaitu a) feminis liberal, memberikan intensitas pada persamaan hak, baik dalam pekerjaan maupun pendidikan, b) feminis radikal, berpusat pada akar permasalahan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas, yaitu seks dan gender, c) feminis sosialis dan Marxis, yang pertama memberikan intensitas pada gender, sedangkan yang kedua pada kelas, d) feminis postmodernis, gender dan ras tidak memiliki makna yang tetap, sehingga seolah-olah secara alamiah tidak ada laki-laki dan perempuan, dan e) feminis kulit hitam dan non Barat dengan intensitas pada ras dan kolonialisme (Ratna, 2005:228).
Dalam dunia sastra, feminisme dapat digunakan sebagai pendekatan dalam kritik sastra. Seperti yang diungkapkan oleh Kolodny dalam Djajanegara (2000: 19) menyatakan bahwa kritik sastra feminis membeberkan perempuan menurut stereotip seksul, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra, dan juga menunjukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah (digunakan untuk) mengkaji tulisan perempuan secara tidak adil, tidak peka.
Sugihastuti (2002: 140) mengungkapkan bahwa kritik sastra feminis adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia.





3.      Analisis dan Pembahasan
Puisi Pertama “Cinta”
Cinta
Aku mencintaimu sejak waktu, sejak bumi, sejak sukma, sejak bayi
Aku mencintaimu sampai laut, sampai langit, sampai darah, sampai mati

Setiap hari kucatat dan kupotret kau dalam batin
Kau menempel di buku-buku, di televisi, di gedung-gedung dan panggung pertunjukan,
juga pada angin dan debu pada napasku
Aku berjalan tersaruk mengendusi semua jejak yang kau tinggalkan
seperti pemburu yang saru

Panggil aku cinta
Bukan, aku bukan wanita khayalanmu
Aku yang mendambamu hingga ke paling lembah
Apakah kau percaya pada ada dan tiada?
Sebab aku mungkin ada, sebab aku mungkin hanya tiada
Sepotong diam yang tak henti mencinta
hingga penghujung senja

Kemayoran, 1988


A.    Tema
Tema puisi ini adalah cinta, hal ini bisa kita lihat dari banyaknya penggunaan kata cinta dalam puisi ini. seperti pada larik “Aku mencintaimu sejak waktu, sejak bumi, sejak sukma, sejak bayi” atau “sepotong diam yang hanya tak henti mencinta”.

B.     Diksi
Diksi yang digunakan penyair dalam puisi ini sangat indah dan tidak biasa, seperti pada larik “aku yang mendambamu hingga ke paling lembah” yang maksudnya adalah si penyair sangat mendambakan atau menginginkan orang yang dimaksudnya (orang yang dicintainya dalam puisi tersebut) dan pada larik “Hanya sepotong diam yang hanya tak henti mencinta” yang maksudnya adalah sang penyair hanya bisa memendam perasaannya.
C.     Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang dominan dalam puisi ini adalah hiperbola, bisa dilihat dari larik pertama dan kedua “Aku mencintaimu sejak waktu, sejak bumi, sejak sukma, sejak bayi” dan “Aku mencintaimu sampai laut, sampai langit, sampai darah, sampai mati” sangat berlebihan .

D.    Rima dan Irama
Dalam puisi ini, penyair tidak menggunakan rima seperti a-a-a-a atau a-b-a-b, puisi ini tidak terikat rima. Namun di beberapa tempat puisi ini memiliki irama seperti pada larik pertama dan kedua puisi ini.
Feminisme
            Setelah membahas sedikit struktur dari puisi ini, selanjutnya kita akan melihat puisi ini dari segi feminismenya.
Wanita ingin dicintai apa adanya
            Dalam puisi tersebut, jelas bahwa perempuan ingin dicintai dengan apa adanya mereka, hal ini tergambar pada larik “Panggil aku cinta/ bukan, aku bukan wanita khayalanmu/. Kata panggil aku cinta adalah bukti bahwa perempuan ingin dicintai, dan kata /aku bukan wanita khayalanmu./ adalah bukti bahwa wanita ingin dicintai apa adanya, bukan seperti gambaran wanita yang ada dibenak banyak lelaki yang cantik bak model, putih seperti salju, anggun seperti putri, dll.

Wanita adalah sosok pecinta dalam diam
            Dan sosok wanita dalam puisi cinta tersebut digambarkan menjadi sosok yang sangat mencintai, namun karena sulit atau berinteraksi dengan orang yang dicintainya, keberadaannya jadi seperti ada atau tiada di mata orang yang dicintainya. Hal itu dikarenakan kebanyakan wanita mencintai pria hanya dalam diam atau tak berani mengungkapkan hal ini dijelaskan pada larik.” Sebab aku mungkin ada/ sebab aku mungkin hanya tiada/ sepotong diam yang hanya tak henti mencinta/.”
            Di Indonesia, rasanya tabu atau gengsi jika wanita yang menyatakan cinta terlebih dahulu. Kebanyakan wanita di Indonesia beranggapan bahwa menunggu memang sudah kodratnya wanita dan menyatakan cinta memang sudah kodratnya lelaki. Tradisi seperti itu yang membuat kebanyakan wanita lebih memilih untuk diam saat mencinta.
Meski begitu, wanita selalu teringat oleh orang yang dia cintai dimanapun dan kapanpun, hal ini tergambar pada larik “Setiap hari kucatat dan kupotret kau dalam batin/ Kau menempel di buku-buku, di televisi, di gedung dan panggung pertunjukan/ Juga pada angin dan debu pada nafasku.”

Puisi  Kedua “Kangen”

            Puisi kedua adalah puisi tentang kerinduan, dari judulnya sudah terlihat yaitu kangen.

KANGEN
Telah kutuliskan puisi-puisi itu
sejak usiamu 26 tahun
ketika pertama kali kita bertukar senyum
pada jarak pandang yang begitu dekat
Kau ingat,
saat kubisikkan mungkin aku tak perlu matahari,
bulan atau bintang lagi
cukup kau, cahaya yang Dia kirimkan untukku
Ah, apa kau masih menyimpan puisi-puisi itu?
Belasan tahun kemudian
aku masih menikmati
mengirimimu puisi
hingga hari ini
aku pun menjelma hujan yang enggan berhenti
di berandamu
bersama angin yang selalu kasmaran
Kau tahu, aku masih saja menatapmu
dengan mataku yang dulu
lelaki sederhana berhati samudera
yang selalu membawaku berlabuh padaNya
Pada berkali masa, kau pernah berkata,
“Aku tahu, Aku hanya ingin menikahi jiwamu selalu”
Helvy Tiana Rosa, Depok, 2008


A.    TEMA
Tema puisi ini adalah kerinduan, walau tidak ditulis secara tersurat tapi hal ini tergambar dengan jelas secara tersirat. Dan juga kita bisa melihat dari judul puisi ini yaitu “Kangen”. Dan juga biasanya orang yang rindu akan mengingat kenangan-kenangan yang  terjadi antara orang yang merindukan dan orang yang dirindukan. Dalam puisi ini, penyair mengingat-ingat kembali kenangan yang pernah dia lakukan kepada orang yang dirindukannya. Hal ini tertulis pada larik Kau ingat/Saat kubisikkan mungkin aku tak perlu matahari/ Bulan atau bintang lagi/ Cukup kau, cahaya yang Dia kirimkan untukku.”
B.     Diksi
Diksi yang digunakan pada puisi ini sederhana namun indah. Tapi ada bagian yang dimana diksinya tidak seperti biasa yaitu pada larik “lelaki sederhana berhati samudera/ yang selalu membawaku berlabuh padaNya.” Disitu jelas menggunakan diksi yang tidak biasa dan itu indah.
C.     Gaya Bahasa
Dalam puisi ini ada majas perbandingan yaitu simile. Hal itu terlihat dalam larik “aku menjelma hujan”  dan ada juga hiperbola yaitu “lelaki sederhana berhati samudera” padahal yang dimaksud adalah berhati luas atau lapang atau juga bisa diartikan sabar.
D.    Rima dan Irama
Puisi ini tidak terlalu terikat dengan rima, namun ada bait dalam puisi tersebut yang menggunakan rima a-a-b-b yaitu pada bait “Kau tahu, aku masih saja menatapmu/ Dengan mataku yang dulu/ Lelaki sederhana berhati samudera/ Yang selalu membawaku berlabuh padaNya.”

Feminisme
Feminisme dalam puisi ini bisa kita lihat dari beberapa aspek yaitu:
Wanita membutuhkan lelaki dalam hidupnya sebagai  pemimpin
Ya, wanita membutuhkan  lelaki sebagai pemimpin. Hal ini bisa dilihat dari bait  Kau ingat/Saat kubisikkan mungkin aku tak perlu matahari/ Bulan atau bintang lagi/ Cukup kau, cahaya yang Dia kirimkan untukku.”
Dalam bait itu, penulis menjelaskan kalau wanita tak perlu lagi apapun di dunia ini kecuali orang yang dituju (dalam puisi itu).  Dan kata “Cahaya”  bisa bermakna konotatif sebagai penerang atau pemandu .
Inilah mengapa dalam mengarungi bahtera rumah tangga, lelaki bertugas sebagai pengambil keputusan dan sebagai imam, sedangkan wanita sebagai pendamping.






Kesimpulan
            Dengan menggunakan pendekatan feminisme untuk mengkaji puisi Helvy Tiana Rosa yaitu “Cinta” dan “kangen, kita bisa tahu beberapa aspek mengenai wanita yang disiratkan helvy dalam karyanya.
Dalam puisi Cinta, helvy menunjukan bagaimana wanita saat jatuh cinta dimana dia memberitahu kita kalau wanita itu ingin dicintai apa adanya  dan biasanya wanita selalu mencintai pria secara diam-diam.
Dan dalam puisi kangen, helvy menunjukan kalau wanita membutuhkan sosok pemimpin dalam hidupnya yaitu laki-laki.


Artikel ini disusun oleh Rezza Budhi Prasetyo. jika ingin mengcopy harap sertakan sumber yaitu blog ini. dalam artikel ini terdapat  landasan teori didapat dari beberapa sumber berikut ini:

Daftar Pustaka

Suhita,S.(2010).Kajian Puisi.Jakarta
Rosa,H.T. (2012). Mata Ketiga Cinta. Jakarta: Asmanadia Publishing House
Esten, Mursal. 1995. Memahami Puisi. Bandung: Angkasa.
https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/kritik-sastra-feminisme/
http://ragambahasakita.blogspot.com/2015/01/about_29.html

Kamis, 16 Juni 2016

Fenomena kesalahan transliterasi dan penggunaan kata serapan di Indonesia

                 Halo kawan pembaca,  tidak terasa bulan Ramadan tinggal beberapa hari lagi. pasti kamu bakal sering mendapat pesan permohonan maaf dari teman-teman atau kerabatmu. Tapi sadar gak, kalo sebenarnya banyak kesalahan-kesalahan penulisan huruf Arab ke huruf latin dalam pesan-pesan tersebut. Ya, pengalihaksaraan tersebut seringkali salah dan tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pun dengan penggunaan kata serapan yang seringkali salah. Dan ternyata fenomena tersebut banyak sekali disekitar kita lho, mau tau apa aja? Mari kita lihat.


sumber
Elektronik merupakan salah satu kata serapan dari bahasa asing yang mengalami proses adaptasi ke bahasa indonesia. berasal dari Bahasa Inggris electronic menjadi elektronik.


"Dzuhur” pun begitu dengan kata dzuhur. Tidak ada konsonan gabungan Dz dalam PUEBI jadi seharusnya kata tersebut menjadi zuhur.



“Ramadhan”. Pasti banyak yang menggunakan kata-kata ini. apalagi saat bulan puasa. Sebenarnya kata ramadhan ini juga salah, karena dalam PUEBI tidak ada konsonan rangkap DH, oleh sebab itu dalam penyerapannya seharusnya menggunakan kata Ramadan.

Khilaf” sama dengan kata makhluk tadi. Karena tidak ada konsonan rangkap kh dalam bahasa Indonesia maka kata ini seharusnya yang benar menjadi kilaf. Kata ini juga merupakan berasal dari Bahasa Arab.


Sumber

Kata “sholat”. Kata sholat sering kali kita lihat di berbagai spanduk dan poster yang bertemakan Islami. Kata sholat ini diambil dari bahasa Arab. Kata Sholat, menurut PUEBI seharusnya adalah salat, karena  dalam Bahasa Indonesia tidak ada konsonan rangkap SH. Kata ini dalam penyerapannya mengalami proses adaptasi.

 lalu ada kata “Makhluk”, juga demikian. Kata ini juga mengalami kesalahan transliterasi. Kata makhluk ini berasal dari bahasa Arab dan mengalami proses adaptasi. Sehingga seharusnya menjadi mahluk. Dalam Bahasa Indonesia, tidak ada konsonan rangkap KH.



Sumber
Karena sebentar lagi lebaran, alangkah baiknya kita saling bermaaf-maafan. minal aidin wal faidzin. eits tunggu dulu, kayaknya ada yang salah deh. ya, dalam tatanan Bahasa Indonesia tidak ada gabungan konsonan Dz. sehingga seharusnya kata minal aidin wal faidzin menjadi minal aidin wal faizin. 


 “Hijab” kata ini sedang populer belakangan ini. sebenarnya tidak ada yang salah dalam penulisan katanya. Namun, alasan saya memasukannya disini adalah karena orang Indonesia banyak yang salah mengartikan kata hijab ini. banyak orang beranggapan kalau hijab berarti kerudung atau jilbab. Padahal bukan, dalam Bahasa Arab sendiri Hijab berarti pembatas. Orang yang berhijab berarti adalah orang yang membatasi dirinya, atau sudah tahu batas-batas bagaimana dia bergaul, berkumpul dengan sesamanya, dan sebagainya.


Lalu ada kata "jum’at". Kata-kata ini dulu sering digunakan namun akhirnya sudah jarang terlihat. Penggunaan kata jum’at . kata ini menurut PUEBI juga salah karena seharusnya tidak ada tanda (‘), sehingga seharusnya menjadi jumat.

Bahasa asing dalam proses penyerapannya kedalam bahasa Indonesia tidak mengalami proses yang asal. didalamnya harus mengalami berbagai proses agar bisa menjadi Bahasa Indonesia. proses perubahan huruf yang terjadi dalam bahasa asing ke Bahasa Indonesia semata-mata terjadi sebagai proses pengadaptasian.

sebenarnya masih banyak contoh-contoh lain dari kesalahan transliterasi dan penggunaan kata serapan dalam Bahasa Indonesia. Namun cukup segini dulu contoh-contohnya. semoga blog ini bisa bermanfaat bagi pembaca. jika ingin mengcopy sertakan link sumbernya ya, terimakasih sudah berkunjung.











ShareThis